Karaeng Bori, dialah I MANNYENDERI DAENG PASAWI putra dari I Manrakkai daeng Labba, ia pula yang mengamuk di kediaman raja (Balla Lompoa) karena adanya pengingkaran perjanjian yang dilakukan oleh raja gowa. Oleh karena itu daeng Pasawi mengamuk sejadi-jadinya di istana raja Gowa pada saat itu karena sebuah perjanjian yang telah disepakati bersama diingkari oleh raja sendiri. Raja Gowa mengirim sepucuk surat yang ditujukan kepadanya yang megakibatkan daeng Pasawi marah. Kemarahan itu dipicu karena adanya kesepakatan/aturan yang telah raja tetapkan, pada akhirnya dilanggar sendiri.
Daeng Pasawi mendatangi istana dengan menunggangi kudanya hingga menaiki tangga istana. Oleh karena kekesalannya pada saat itu, sebelumnya daeng Pasawi sempat diingatkan oleh panasehat adat agar tidak pergi dalam keadaan emosi. Bahkan menurutnya hari itu hari tidak tepat (tidak baik) karena hari itu adalah “hari Kamis”. Daeng Pasawi menjawab dengan nada kesal “bukan saya yang menentukan hari” dan tidak perlu ada yang ikut dalam urusan ini. Saya akan berangkat hari ini juga ke istana di Mangasa ke pemerintah raja Gowa ke-30 yang waktu itu tepatnya tahun 1825 M.
Pada peristiwa itu terjadilah pertarungan daeng pasawi dengan beberapa pasukan dan prajurit di dalam istana. Oleh karena daeng Pasawi tidak bisa dibunuh, pada akhirnya daeng Pasawi dibuat kelelahan dengan cara diladung (ditenggelamkan) namun tetap mengapung, kemudian ditusuk menggunakan bambu namun bambu yang digunakan juga pecah dan patah. Lalu dibiarkan lapar selama 7 hari bahkan sempat dibiarkan di bawah terik matahari namun tidak mati juga. Namun daeng Pasawi berkata “kalian tidak mampu membunuhku”. Yang lebih sakral dan menantang lagi dikemukakan “bahkan malaikat maut pun tak akan berani mencabut nyawaku”. Tidak lama setelah itu dia kembali berkata “namun inilah saatnya tiba (saya mati). Setelah itu daeng Pasawi meminta pantul emas (penusuk dari bahan emas) yang digunakan sebagai alat untuk membunuh dirinya. Peristiwa berdarah tersebut menurut penuturan
Drs.H.Muh. Hatta Hamzah, M.M Krg. Gajang (pemangku adat Borisallo) yang menjadi narasumber sejarah Karaeng Bori.
Setelah daeng Pasawi gugur ia pun diberi gelar “Karaeng tu ni posoa” yang berarti orang yang mati dalam kelelahannya bukan dia mati dalam kekalahannya. Jasad Daeng Pasawi dipisahkan antara kepalanya dan tubuhnya, kemudian dipenggal lalu raja Gowa memerintahkan untuk membuangnya ke sungai je’ne berang.
Peristiwa kematian daeng Pasawi adalah sebuah tragedi berdarah yang tecatat dalam sejarah kelam.
Setelah meregang nyawa, kepala daeng Pasawi dihanyutkan dibantaran sungai je’ne berang hingga terseret air sungai sampai ke wilayah gusung yang kini menjadi kelurahan Maccini Sombala kecamatan Tamalate kota Makassar dan ditemukan oleh kakek buyutnya daeng Manye sewaktu banjir bandang.( Mitologi Bumi Sulawesi/Adhy )