Gowa Baktionline.id
Mitologi Bumi Sulawesi (MBS) bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan, Indonesiana dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) melaksanakan Diskografi dan Dialog Budaya dengan tema “Menelisik Budaya Islam Gowa di Abad Ke-17”.
Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Kamis (malam) ,28 Maret 2024 di Jl. Usman Salengke, Cafe Doeloe ( CDL) Sungguminasa yang juga kantor MBS.
Diskografi dan Dialog Budaya ini adalah salah satu dari enam paket kegiatan yang telah disepakati antara MBS dan Kemendikbudristek untuk dijalankan selama tahun 2024. Diskografi dalam bentuk dialog ini adalah kegiatan perdana dari 10 kegiatan diskografi yang akan dilaksanakan. Namun sebelumnya, MBS telah melaksanakan dialog budaya dengan tema yang berbeda pada tahun 2023 yang lalu.
Menghadirkan pemateri Dr. Ir. H. Hasan Hasyim selaku budayawan, Prof. Dr. H. Bahaking Rama, Guru Besar UINAM dan Sejarawan DR. Hj. Syamzam S, M.Ag serta dipandu oleh Muh. Isra, DS selaku PIC Diskografi dan Dialog Budaya yang juga kepala Biro dan koordinator riset dan strategi MBS.
Kegiatan Diskografi dan Dialog Budaya ini diibuka oleh Iwal Achmady selaku Direktur MBS.
Syamzam Syukur yang tampil sebagai pembicara pertama, menjelaskan sejarah masuknya islam pertama di Gowa berdasarkan referensi sejarah tepatnya pada tahun 1605 Masehi. Tahun itu dicatat dalam sejarah sebagai tonggak penyebaran ajaran Islam di Gowa.
Sekalipun Syamzam tak menampik jika sebelum masa itu, Islam telah masuk di Gowa tetapi belum memberikan pengaruh yang besar terhadap tatanan kehidupan dan sosial kultural pada masyarakat saat itu.
Tampil sebagai pembicara kedua, Prof. Dr. H. Bahaking Rama, MS, memaparkan bahwa budaya dan islam itu dua hal yang berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan.
“Islam itu paten, ajaran langsung dari Tuhan,
sementara budaya adalah hasil pemikiran manusia yang diturunkan secara turun temurun”, jelas Guru Besar UINAM dihadapan peserta dialog.
Sehingga, lanjut Bahaking Rama, Islam tidak bisa dipengaruhi oleh budaya, akan tetapi hasil pemikiran manusia dalam mengkaji islam, itulah yang menjadi budaya islam yang hingga saat ini masih tetap terlaksana dalam kehidupan bermasyarakat.
Hasan Hasyim selaku budayawan Gowa, menjelaskan jika Kerajaan Gowa merupakan kerajaan yang spesifik di dunia, karena memiliki teritorial yang tidak pernah bergabung dengan daerah lain.
Akibatnya, lanjut Hasan, semua ada di sulawesi itu endemik. Artinya tidak ada di tempat lain, baik itu flora, fauna hingga budayanya.
Salah satu ciri khas Gowa yaitu memilki budaya tutur yang sangat kuat, sehingga nilai-nilai budaya yang sangat kental itu harus dipertahankan.
“Semua aspek dan tatanan kehidupan dengan budaya yang kuat telah diletakkan para pendahulu kita, sehigga nenek moyang kita dahulu berjaya, hanya karena kita tidak memeliharanya, sehingga hal itu lambat laun hilang ditelan masa,” jelas Hasyim.
Olehnya itu, kata Hasyim, sekarang ini sangat penting untuk kembali meletakkan tatanan budaya tersebut agar kejayaan itu bisa kembali diraih.
Iwal Achmady selaku Direktur MBS dalam closing statement nya menyatakan, setelah menjajaki seluruh dataran Sulawesi Selatan dalam menggali dan mengulas sejarah masuknya islam di Sulsel, ada hal yang unik ditemukan.
Apa hal unik itu? Iwal katakan, tidak ada satupun daerah di Sulsel yang merasa dirinya yang kedua masuk Islam. Dengan landasan dan referensi masing-masing daerah yang dimiliki, seluruh daerah mengklaim dirinyalah yang pertama memeluk islam.
Sehingga, bagi Iwal, untuk menentukan kapan masuknya islam di Sulsel, sangat tergangtung kapan masyarakat itu berbudaya, karena budaya dan islam adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan.
Dialog ini berlangsung kondusif dan dinamis, mengingat perserta yang hadir dari berbagai kalangan, mulai dari komunitas budaya,penggiat budaya dan seni, tokoh masyarakat,tokoh pemuda, aktivis, lSM, akademisi, tokoh adat hingga berbagai media turut hadir.
Berbagai tanggapan datang dari peserta dialog, mengingat kejelasan tentang kapan masuknya islam di Sulsel tetap menjadi perbincangan yang membutuhkan tinjauan yang komprehensif untuk mendapatkan jawaban yang bisa diterima semua kalangan.
Acara ini dinilai oleh berbagai kalangan yang hadir, cukup sukses dan sangat mengedukasi. Hal tersebut terlihat dari antusiasme peserta yang hadir, jauh melebihi dari target yang telah ditetapkan oleh pihak pelaksana dalam hal ini MBS, berikut keinginan dari peserta untuk memberikan tanggapan dan pernyataan cukup besar namun karena dibatasi waktu sehingga tidak semuanya mendapat kesempatan.
“Mohon maaf bapak, ibu, sarribattangku ngaseng (saudara saudara ku semua, red), kita close ya seasion tanya jawab karena waktu terbatas, setelah kegiatan bisa lanjut diskusi lepas, bebas, tutup moderator Isra DS.
(Bawa Karaeng, Ucca)