Gowa baktioline.id
Diskografi dan Dialog Budaya kembali dilaksanakan
Mitologi Bumi Sulawesi (MBS).
MBS bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Dana Indonesiana dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Adapun tema yang diangkat “Pergeseran Nilai Aru Dalam Prosesi Adat Budaya”. Acara ini dilaksanakan pada Sabtu, 25 Mei 2024 sore sampai malam di New Tosil Cafe Malino, Bonto Lerung Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa.
Diskografi dan Dialog Budaya ini adalah kegiatan ke -3 pasca MBS bekerjasama dengan Kemendikbudristek.
Menghadirkan pemateri Prof. Dr. Halilintar dari akademisi, Muh. Hatta Hamzah Dg Gajang dari Tokoh Adat Borissallo dan Hairil Muin Dg Ngola sekalu pemerhati sejarah dan budaya Gowa. Turut juga hadir Ahmad Pidris Zain selaku Ketua Yayasan Budaya Bugis Makassar.
Acara ini dipandu oleh Rahmat Kulle sebagai moderator dan dibuka secara resmi oleh Iwal Achmady, selaku Direktur MBS.
Dialog tersebut berlangsung cukup menarik, mengingat tema ini diangkat karena banyaknya permintaan dari para penggemar MBS di sosial media yang menginginkan adanya pencerahan terkait seperti apa sebenarnya Aru, dimana dan kapan Aru itu harus dilaksanakan.
“Kami dari tim MBS terus berupaya melakukan edukasi kepada masyarakat terkait bagaimana adat budaya itu ditempatkan pada tempatnya, termasuk Aru,” jelas Iwal.
Karena kita bisa melihat, lanjut Iwal, utamanya di medsos kadang orang melaksanakan praktek Aru tidak pada tempatnya.
Dalam pemaparan para pemateri terkait tema yang diangkat, ketiga pemateri juga sepakat jika saat ini telah terjadi pergesaran nilai dan bahkan prakteknya sudah tidak tepat.
Seperti yang dijelaskan oleh Dg Gajang, sekalu tokoh adat Borissallo. Menurutnya, sangat miris melihat kenyataan saat ini, karena Aru telah menjadi praktek budaya yang dilaksanakan tidak pada tempatnya seperti saat acara pernikahan.
“Jadi Aru itu ada dua yaitu Aru Somba dan Aru Tubarani, dalam bahasa lainnya Aru kesetiaan dan Aru perang, kalau kita mempraktekkan Aru saat ada acara pernikahan, itu sudah tidak tepat,” Papar Tetta Gajang, sapaan akrabnya.
Prof Halilintar dalam paparannya bahwa pergeseran nilai Aru itu karena pengaruh modernisasi dan digitalisasi sehingga perlu upaya keras mengembalikan nilai dan tempat Aru yang sebenarnya seperti yang dilakukan oleh MBS
” MBS saat sekarang ini menjadi garda terdepan dalam penelusuran dan pelurusan adat dan budaya, sehingga ketika ada yang tanya terkait bagaimana caranya meluruskan dan melestarikan adat budaya termasuk Aru, saya katakan ke MBS ” ungkap Prof Halilintar.
Sementara Hairil Muin Daeng Ngola dalam menyampaikan materinya banyak menjelaskan jenis jenis Aru diberbagai wilayah yang sering dipraktekkan masyarakat.
Ahmad Pidris Zain selaku ketua Yayasan Budaya Bugis Makassar, turut memberikan pandangannya sebagai pemantik dialog dan diskusi terkait dengan tema.
Menurut Pidris, perlu pemahaman yang konprehensif dalam memaknai Aru, agar tidak salah dalam memahami nilai yang terkandung dalam Aru.
“Aru Tubarani itu lebih fleksibel jika ingin dipraktekkan, sekalipun tidak juga sembarang tempat dan momen bisa dilakukan. Beda dengan Aru Somba, karena Aru Somba tidak bisa dipraktekkan kecuali di hadapan Sombayya, karena Sombayya berarti Manipestasi Tuhan, bukan perwakilan Tuhan,” tegas Pidris di hadapan peserta diskusi.
Sehingga, lanjut Pidris, jika dipaham nilai yang terkandung dalam praktek Aru, maka setiap kalimat yang terucap itu punya makna yang sangat kuat, bukan hanya persoalan adat budaya, tetapi dalam teks Aru itu bercerita tentang syariat, hakikat, tarekat dan ma’rifat.
Aru dalam arti epistimologi berarti sumpah, sehingga sumpah itu tidak bisa diucapkan disembarang tempat dan sembarang orang.
Dialog ini berlangsung kondusif dan dinamis, mengingat peserta yang hadir dari berbagai kalangan, mulai dari komunitas budaya, tokoh masyarakat, aktivis, mahasiswa, akademisi, tokoh adat, tokoh pemuda hingga berbagai media turut hadir.
Juga nampak peserta dari luar negeri yakin Inggris dan Italia yang juga sempat menyampaikan pertanyaan dan pernyataan terkait budaya.
(Bawa Karaeng, Ucca)