Makassar, baktionline.id
Oleh: H.Mustari Mangngasai
Pengamat politik dan Hukum
Dalam praktik politik lokal, istilah mosi tidak percaya kerap mencuat sebagai bentuk ekspresi ketidakpuasan anggota dewan terhadap pimpinan DPRD. Namun, dalam banyak kasus, mosi semacam itu justru menjadi “pintu masuk” bagi kepentingan politik tertentu—terutama ketika dijadikan dasar untuk menggulirkan pergantian pimpinan DPRD.
Masalahnya, dalam sistem hukum Indonesia, mosi tidak percaya tidak dikenal sebagai mekanisme formal dalam peraturan perundang-undangan. Artinya, mosi hanya merupakan bentuk pernyataan politik, bukan keputusan hukum yang mengikat. Oleh karena itu, setiap upaya menggiring mosi menjadi dasar pemberhentian pimpinan DPRD harus dilihat dengan hati-hati dan sesuai koridor hukum yang berlaku.
Pergantian pimpinan DPRD diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 37 ayat (4) yang menyebutkan bahwa:
> “Pimpinan DPRD berhenti dari jabatannya karena meninggal dunia, mengundurkan diri, diberhentikan sebagai anggota DPRD, atau diberhentikan dari jabatan pimpinan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Lebih lanjut, mekanisme teknisnya dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2018, khususnya Pasal 36 sampai dengan Pasal 40, yang menegaskan bahwa:
Pimpinan DPRD berhenti apabila diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan.
Pemberhentian pimpinan DPRD harus melalui usulan resmi dari partai politik pengusung, disertai keputusan partai yang ditujukan kepada Ketua DPRD dan ditembuskan kepada Gubernur atau Bupati/Wali Kota.
Tanpa usulan partai politik, DPRD maupun Badan Kehormatan tidak memiliki dasar hukum untuk memproses pemberhentian pimpinan.
Dengan demikian, partai politik memegang kunci utama. Sekalipun Badan Kehormatan (BK) mengeluarkan rekomendasi etik, rekomendasi tersebut tidak otomatis menjadi dasar pemberhentian, karena BK hanya memiliki kewenangan etik, bukan politik atau administratif jabatan.
Dalam konteks hukum tata pemerintahan daerah, mosi tidak percaya bersifat politis, bukan yuridis. Tidak ada satu pun pasal dalam UU 23/2014 maupun PP 12/2018 yang mengatur mosi tidak percaya sebagai dasar sah pemberhentian pimpinan DPRD.
Mosi hanya dapat menjadi catatan politik internal fraksi atau partai, bukan keputusan institusional yang menimbulkan akibat hukum. Karena itu, ketika mosi digunakan untuk mendesain skenario pergantian pimpinan DPRD, hal itu berpotensi menabrak prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), khususnya asas kepastian hukum dan asas akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a dan huruf b UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Partai politik memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga marwah kelembagaan DPRD. Dalam banyak kasus, desain eksternal sering kali memanfaatkan situasi internal dewan untuk menggiring partai pada keputusan yang terburu-buru.
Padahal, UU 2 Tahun 2008 jo. UU 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik menegaskan bahwa keputusan partai harus berdasarkan mekanisme internal yang demokratis dan rasional. Oleh sebab itu, ketika menghadapi situasi adanya mosi tidak percaya, partai politik seharusnya melakukan kajian mendalam secara objektif dan hukum sebelum mengusulkan pergantian pimpinan.
Tanpa usulan resmi dari partai pengusung, tidak ada dasar hukum untuk melakukan Pergantian Antar Waktu (PAW) atau pemberhentian pimpinan DPRD. Paripurna yang dipaksakan tanpa dasar hukum yang kuat justru berpotensi cacat prosedural dan menimbulkan sengketa tata usaha negara di kemudian hari.
Pimpinan DPRD adalah simbol kehormatan lembaga perwakilan rakyat daerah. Karena itu, proses penggantian harus dilakukan secara bermartabat, bukan melalui tekanan politik atau rekayasa eksternal. Badan Kehormatan boleh memberikan rekomendasi etik, tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan partai politik dan harus berpijak pada aturan hukum, bukan pada tekanan emosional atau kepentingan sesaat.
Mosi tidak percaya seharusnya dipahami sebagai alarm moral, bukan alat politik untuk menjatuhkan pimpinan yang sah. Jika setiap perbedaan pendapat diakhiri dengan mosi, maka DPRD tidak lagi menjadi lembaga deliberatif, tetapi arena manuver politik kekuasaan.
Menjaga integritas lembaga DPRD berarti menegakkan hukum dan etika secara seimbang. Asas nemo judex in causa sua tetap relevan di sini: jangan sampai pihak yang memiliki kepentingan menjadi hakim atas perkara sendiri.
Ketika mosi tidak percaya dijadikan alat politik, sementara dasar hukumnya tidak ada, maka yang tercederai bukan hanya satu individu, melainkan kredibilitas lembaga dan kepercayaan rakyat terhadap proses demokrasi di daerah.
Partai politik harus menjadi benteng terakhir rasionalitas hukum dan etika politik. Tanpa itu, DPRD hanya akan terjebak dalam pusaran konflik kepentingan yang menggerus marwah dan kehormatan lembaga itu sendiri.
(Bawa Karaeng, Isra)